https://sidoarjo.times.co.id/
Berita

Ketika Kaki Kiri Harus Pergi: Perjuangan Hidup Santri Cilik Ponpes Al-Khoziny

Senin, 06 Oktober 2025 - 16:55
Ketika Kaki Kiri Harus Pergi: Perjuangan Hidup Santri Cilik Ponpes Al-Khoziny Syehlendra Haical R.A. (13), korban selamat dari insiden ambruknya musala Ponpes Al-Khoziny menjalani perawatan medis di RSUD RT Notopuro Sidoarjo (FOTO: istimewa)

TIMES SIDOARJO, JAKARTA – Suasana malam di RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo terasa hening pada Jumat (3/10/2025) itu. Lampu di ruang operasi menyala terang, menembus batas waktu antara harapan dan kepasrahan. Di balik pintu yang tertutup rapat, seorang anak berusia 13 tahun sedang berjuang untuk hidupnya. Namanya Syehlendra Haical R. A., santri cilik yang beberapa hari sebelumnya menjadi korban reruntuhan bangunan Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo.

Dua hari sebelumnya, Haical berhasil dievakuasi dari tumpukan puing bangunan pesantren yang roboh. Tubuh kecilnya lemah, namun matanya masih memancarkan kehidupan. Ia segera dilarikan ke RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo untuk mendapatkan perawatan intensif. Di ruang gawat darurat, tim medis bergegas menstabilkan kondisinya. Luka di kaki kirinya terlihat parah—terlalu parah untuk anak seusianya.

“Haical masuk dalam fase darurat medis,” ujar dr. Larona Hydravianto, Sp.OT, Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo, dengan nada yang pelan namun tegas.

“Indikasi medis menunjukkan kaki kirinya telah mengalami dead limb.”

Istilah dead limb dalam dunia medis bukan sekadar diagnosis klinis. Ia adalah pertanda bahwa jaringan tubuh di bagian tersebut sudah kehilangan kehidupan—aliran darah berhenti, sel-sel membusuk, dan risiko infeksi sistemik mengancam nyawa pasien. Pada titik ini, pilihan medis menjadi sesempit napas terakhir: amputasi.

Antara Hidup dan Kehilangan

Pukul 22.00 WIB, Jumat malam, tim dokter mengambil keputusan berat: amputasi kaki kiri Haical harus dilakukan segera. Operasi berlangsung selama dua jam, hingga jarum jam menunjuk tengah malam. Di ruang operasi itu, batas antara kehilangan dan keselamatan menjadi sangat tipis.

“Kalau tidak segera diambil tindakan amputasi, kondisinya bisa membahayakan nyawa pasien,” kata dr. Larona.

“Fase dead limb ini bisa membuat kondisi tubuh semakin memburuk, bahkan fatal.”

Keputusan itu tidak mudah, tetapi menjadi satu-satunya jalan agar Haical dapat terus hidup. Anak 13 tahun itu kini harus menjalani hidup baru tanpa satu kakinya—harga yang terlalu besar untuk dibayar dari peristiwa yang datang tiba-tiba.

Meski demikian, dokter memastikan bahwa operasi berjalan lancar. Sekitar pukul 24.00 WIB, tindakan medis selesai dilakukan. “Kondisi Syehlendra Haical saat ini sudah membaik,” kata dr. Larona kemudian. Sebuah kalimat sederhana yang mengandung kelegaan panjang bagi banyak orang yang telah menunggu kabar baik dari balik dinding rumah sakit.

Reruntuhan yang Menguji Iman dan Kemanusiaan

Peristiwa runtuhnya bangunan Ponpes Al-Khoziny Sidoarjo menjadi duka mendalam bagi banyak pihak. Santri-santri yang tengah belajar, berzikir, dan menyiapkan masa depan tiba-tiba harus berhadapan dengan maut yang datang dalam sekejap. Di balik peristiwa itu, muncul kisah-kisah kemanusiaan yang mengharukan—salah satunya kisah Haical.

Tim SAR yang mengevakuasi korban menyebut proses pencarian berlangsung sangat sulit. Reruntuhan beton dan material berat menutupi hampir seluruh bagian bangunan. Setiap detik menjadi pertaruhan antara waktu dan nyawa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan masih ada belasan korban yang tertimbun saat pencarian dilakukan. Namun di tengah keputusasaan itu, suara kecil Haical sempat terdengar memanggil dari balik puing. Ia masih hidup.

Evakuasi Haical menjadi simbol kecil dari harapan di tengah bencana. Saat tubuhnya diangkat dari reruntuhan, sebagian petugas menitikkan air mata. Anak sekecil itu berhasil bertahan lebih lama dari yang diduga siapa pun.

Operasi yang Menyelamatkan, Tapi Tak Mengembalikan Segalanya

Setelah beberapa hari menjalani perawatan intensif di RSUD R.T. Notopuro, tim medis akhirnya harus menempuh keputusan medis ekstrem itu. Menurut dr. Atok Irianto, Sp.OT, tindakan amputasi dalam situasi seperti ini merupakan prosedur penyelamatan terakhir.

“Amputasi dilakukan bukan karena kita menyerah, tetapi justru karena kita ingin menyelamatkan,” katanya, menggambarkan dilema yang dihadapi para dokter dalam kasus bencana.

Haical menjadi salah satu korban yang selamat, namun kehilangan bagian tubuhnya. Di usianya yang baru 13 tahun, ia harus belajar berjalan kembali, menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru, dan menghadapi pandangan orang yang mungkin iba, mungkin juga kagum.

Namun yang pasti, kisahnya menjadi saksi betapa bencana bukan hanya tentang puing dan kehilangan nyawa, tetapi juga tentang kekuatan manusia bertahan di batas paling rapuh.

Ponpes Al Khoziny: Dari Pusat Pendidikan, Kini Jadi Pusat Doa

Bagi warga Sidoarjo, Pondok Pesantren Al-Khoziny bukan sekadar lembaga pendidikan agama. Ia adalah rumah bagi ratusan santri, tempat menimba ilmu, dan sumber ketenangan bagi masyarakat sekitar.
Setelah tragedi itu, halaman pesantren berubah menjadi lokasi darurat—dipenuhi relawan, petugas medis, dan keluarga korban yang datang dari berbagai daerah.

Di setiap sudut, terdengar doa yang sama: semoga para korban selamat, semoga yang gugur mendapat tempat terbaik. Haical menjadi simbol dari doa-doa itu. Ia bukan hanya santri kecil yang kehilangan kaki, tetapi juga gambaran keteguhan dan kesabaran seorang anak menghadapi ujian yang melampaui usianya.

Pascaperistiwa ini, RSUD R.T. Notopuro menjadi titik harapan baru. Tim medis masih terus memantau kondisi pasien-pasien lain yang juga mengalami luka serius akibat runtuhnya bangunan. Mereka bekerja tanpa lelah, bergantian antara ruang operasi dan ruang rawat.

Dari Luka ke Harapan

Kini, Haical masih menjalani masa pemulihan. Luka di kakinya memang telah dijahit, namun luka di batin tentu tak sesederhana itu.

Meski demikian, para tenaga medis melihat semangat hidup yang kuat dari anak ini.

“Setiap kali kami periksa, dia selalu tersenyum,” ujar salah satu perawat yang menemaninya di ruang rawat.

Dalam setiap tragedi, ada satu hal yang kerap terabaikan: kekuatan untuk tetap hidup. Dan Haical, di usianya yang baru menginjak remaja, telah menunjukkan kekuatan itu.
Kakinya mungkin hilang, tapi semangatnya untuk hidup tetap utuh.

Peristiwa di Ponpes Al Khoziny Sidoarjo bukan sekadar bencana fisik yang menghancurkan bangunan, tetapi juga peristiwa kemanusiaan yang mengguncang kesadaran banyak orang—bahwa setiap nyawa, sekecil apa pun, berarti.

Dan di antara reruntuhan itu, seorang anak bernama Haical telah membuktikan: di balik kehilangan, selalu ada harapan yang bisa tumbuh. Bagi Haical, mungkin perjalanan ini baru dimulai. Tapi bagi dunia di luar ruang perawatan itu, kisahnya telah menjadi saksi — bahwa bahkan di bawah reruntuhan, iman bisa tetap hidup, dan keajaiban bukanlah hal yang mustahil. (*)

Pewarta : Rudi Mulya
Editor : Imadudin Muhammad
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Sidoarjo just now

Welcome to TIMES Sidoarjo

TIMES Sidoarjo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.