TIMES SIDOARJO, SIDOARJO – Pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) semestinya menjadi kabar menggembirakan. Namun, di balik euforia itu, muncul fenomena sosial yang menyita perhatian: meningkatnya angka gugatan cerai di kalangan guru PPPK.
Di Kabupaten Blitar, tercatat 20 guru PPPK mengajukan permohonan cerai dalam enam bulan pertama tahun 2025, angka yang jauh melampaui jumlah tahun sebelumnya.
Menariknya, 75% dari gugatan tersebut datang dari pihak istri. Fenomena ini bukan sekadar soal statistik, melainkan cermin dari dinamika sosial yang berubah. Ketika perempuan mendapatkan kemandirian ekonomi, relasi dalam rumah tangga pun mengalami guncangan.
Banyak perempuan yang mengaku baru berani mengambil keputusan cerai setelah merasa "aman" secara finansial, indikasi bahwa sebelumnya mereka bertahan bukan karena cinta, melainkan ketergantungan.
Dalam Islam, pernikahan bukan hanya ikatan lahir, melainkan juga ikatan batin yang sakral. Al-Qur’an menyebutnya dengan istilah mitsaqan ghalidzan (perjanjian yang sangat kuat). Sebagaimana dalam QS. An-Nisa’ ayat 21:
وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا
“Bagaimana kamu akan mengambilnya (kembali), padahal kamu telah menggauli satu sama lain (sebagai suami istri) dan mereka pun (istri-istrimu) telah membuat perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) denganmu?”
Ayat ini menekankan bahwa pernikahan bukan hubungan yang bisa diputuskan begitu saja. Namun demikian, Islam juga memberikan ruang bagi perceraian sebagai jalan keluar terakhir ketika hubungan sudah tidak dapat diperbaiki, sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 229:
اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْـًٔا اِلَّآ اَنْ يَّخَافَآ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا ۚوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan (rujuk) dengan cara yang patut atau melepaskan (menceraikan) dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu (mahar) yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan batas-batas ketentuan Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan batas-batas (ketentuan) Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya) Itulah batas-batas (ketentuan) Allah, janganlah kamu melanggarnya. Siapa yang melanggar batas-batas (ketentuan) Allah, mereka itulah orang-orang zalim.”
Artinya, Islam tidak menstigmatisasi perceraian, tetapi mengaturnya agar dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan keadaban.
Kembali pada kasus guru PPPK, kita bisa menyimpulkan bahwa perubahan status ekonomi bisa menguak konflik laten yang sebelumnya tersembunyi. Ketika istri yang dulu menjadi penopang diam-diam, kini berdiri setara atau bahkan lebih mapan, muncul tantangan relasi baru.
Suami yang tidak siap secara mental atau emosional bisa merasa terancam, dan istri yang sebelumnya tertekan, kini merasa cukup kuat untuk menyudahi relasi yang timpang.
Namun ini bukan soal siapa yang salah. Ini soal pentingnya kesadaran peran, komunikasi yang sehat, dan adaptasi dalam menghadapi perubahan hidup. Seringkali, pasangan tidak dibekali kemampuan menyusun ulang harmoni ketika salah satu pihak mengalami lonjakan status ekonomi.
Maka, sebagaimana kita menyiapkan guru untuk profesionalisme kerja, kita juga perlu membekali mereka dengan kesiapan emosional dan spiritual dalam membangun keluarga.
Dalam konteks ini, konseling pranikah dan layanan mediasi keluarga menjadi penting. Pemerintah daerah, Kemenag, maupun sekolah bisa bekerja sama dengan lembaga psikologi dan tokoh agama untuk menyediakan ruang diskusi yang tidak menghakimi. Karena realitasnya, perceraian bukan sekadar urusan pribadi, tapi juga mencerminkan ketegangan dalam struktur sosial dan budaya.
Rasulullah SAW pun mengajarkan pentingnya saling memahami dalam rumah tangga. Dalam hadis riwayat Muslim, beliau bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي لله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً، إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin (suami) membenci seorang mukminah (istri); jika ia tidak menyukai satu perangai darinya, maka ia akan menyukai perangai lainnya," (HR. Muslim, no. 1469).
Pesan ini relevan, bahwa tidak ada pasangan yang sempurna, tapi selalu ada ruang untuk memahami dan tumbuh bersama. Maka, ketika pasangan berhasil, baik secara ekonomi maupun sosial, keberhasilan itu seharusnya menjadi motivasi bersama, bukan pemicu retaknya relasi.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu berhenti menganggap perceraian sebagai aib. Dalam beberapa kasus, itu adalah bentuk perlindungan diri dan penghargaan terhadap kehidupan yang lebih bermartabat.
Yang lebih penting adalah bagaimana setiap individu menjalani keputusan tersebut dengan tanggung jawab, tanpa melupakan nilai-nilai adil dan ihsan.
Menjadi PPPK adalah amanah dan anugerah. Tapi ia juga ujian. Jangan sampai perubahan status justru membawa retak di sisi lain kehidupan. Keseimbangan antara profesionalitas dan keharmonisan rumah tangga adalah kunci menuju kehidupan yang utuh. (*)
***
*) Oleh : Mochammad Fuad Nadjib, Penghulu Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |