TIMES SIDOARJO, SIDOARJO – Sejak dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sidoarjo, Subandi dan Mimik Idayana aktif menampilkan kinerja mereka melalui media sosial, khususnya Instagram pribadi masing-masing. Setiap hari, visual kegiatan dan aktivitas pembangunan rutin diunggah di akun @cakband1 dan @mimikidayana.
Namun, berdasarkan riset yang dirilis ASQARA Research, upaya komunikasi digital itu belum menyentuh seluruh janji kampanye, yakni 14 program prioritas. Hal ini disampaikan Project Manager ASQARA, Helmi Naufal, M.A., kepada TIMES Indonesia, Selasa (10/6/2025).
“Dari analisis kami, hanya sebagian program yang direpresentasikan. Representasi itu bukan hanya soal menampilkan realitas, melainkan bagaimana realitas dikonstruksi lewat simbol, bahasa, dan visual,” ujar Helmi.
ASQARA melakukan riset dari Februari hingga Mei 2025, memantau konten di dua akun Instagram tersebut. Dalam 100 hari kerja pertama, akun @cakband1 hanya menampilkan 6 dari 14 program prioritas, sedangkan @mimikidayana menyentuh 8 program. Dua program yang paling dominan adalah Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan pembangunan infrastruktur jalan.
Menurut Helmi, lima program sama sekali belum muncul di Instagram Subandi-Mimik.
“Yang tidak ditampilkan adalah program layanan berobat gratis, dana desa Rp500 juta, tunjangan profesi, renovasi warung rakyat, serta kemudahan perizinan,” jelasnya.
Ketimpangan ini, lanjut Helmi, mengindikasikan bahwa pembangunan infrastruktur menjadi visualisasi favorit karena mudah ditangkap kamera dan emosional. Padahal, menurutnya, kebutuhan masyarakat Sidoarjo jauh lebih kompleks.
“Membangun jalan dan RTLH itu paling mudah untuk menunjukkan bahwa bupati-wabup bekerja. Tapi pembangunan sosial yang berdampak langsung justru kurang terekspos,” tegas Helmi.
Format konten yang disajikan pun dinilai cenderung melodramatis. Ia menyebut narasi visual di Instagram Subandi-Mimik mengarah pada gaya entertainment, menciptakan batas tipis antara pejabat publik dan selebriti.
"Ada kontras antara penolong dan yang ditolong. Format semacam itu menggugah emosi, bukan memperkuat substansi. Ini memunculkan pertanyaan: siapa yang benar-benar menjadi pusat cerita?” ungkapnya.
Meski demikian, Helmi optimis. Ia mendorong warga Sidoarjo untuk menyuarakan perspektif alternatif melalui media sosial. Menurutnya, ruang digital memungkinkan warga menjadi produsen konten, bukan hanya konsumen.
“Saya menunggu konten tandingan dari masyarakat. Perspektif akar rumput bisa menjadi narasi segar, agar Sidoarjo tidak hanya dilihat dari menara gading kekuasaan,” pungkasnya.
Temuan ASQARA menjadi catatan penting tentang bagaimana pemimpin daerah membangun citra melalui media sosial, sekaligus membuka ruang dialog publik yang lebih kritis dan partisipatif.(*)
Pewarta | : Rudi Mulya |
Editor | : Imadudin Muhammad |